Bung Karno berpesan, ”Terlepas dari ideologi apa pun, jagalah persatuan! Jagalah keutuhan!”
Oleh
EDUARD LUKMAN
·3 menit baca
Setelah ditetapkan sebagai presiden-wakil presiden terpilih Pemilu 2024 oleh Komisi Pemilihan Umum, presiden terpilih Prabowo Subianto mengajak seluruh elite bangsa meninggalkan perbedaan dan bersatu (Kompas, 25/4/2024, hlm 1).
Ajakan presiden terpilih Prabowo Subianto tersebut diulas Tajuk Rencana, ”Bersatu Kerjakan PR Kebangsaan” (Kompas, 26/4/2024). Kompas menekankan bahwa kini saatnya bangsa Indonesia erat bersatu, sama-sama menatap ke depan. Kita menghadapi bermacam persoalan yang tidak ringan, bersumber dari dalam dan luar negeri yang berkelindan. Visi dan tujuan memajukan negara dan bangsa tidak bisa lain selain dilakukan bersama dalam semangat persatuan.
Seruan untuk meninggalkan perbedaan dan kembali bersatu setelah pemilihan umum mengingatkan kita pada amanat Presiden Soekarno menjelang dan setelah pemilihan umum anggota DPR dan Dewan Konstituante 1955.
Menyambut Pemilu 1955, dalam amanatnya pada ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1955, Bung Karno mengingatkan: ”Orang mengira bahwa suatu perpecahan dalam pemilu selalu dapat diatasi setelah pemilu itu! Orang lupa: ada perpecahan yang tak dapat disembuhkan sehingga memecah-belah keutuhan bangsa.” Presiden Soekarno melanjutkan: ”Terlepas dari ideologi apa pun, jagalah persatuan! Jagalah keutuhan!” (Ir Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid Kedua, Cetakan Kedua, 1965).
Setelah Pemilu 1955, Bung Karno mengulangi seruan itu. Pada ulang tahun proklamasi kemerdekaan kita 1956, seraya bersyukur bahwa pemilu telah berlangsung dengan baik, Presiden Soekarno mengamanatkan: ”Mental kita harus berubah. Mental kita harus mengangkat diri di atas kekecilan jiwa, yang membuat kita mempertengkarkan urusan tetek-bengek yang tidak penting.”
Beliau juga meminta agar para pemimpin politik ”mengusahakan satu kerja sama yang hidup atas dasar saling mengerti dan saling menghargai, menjelmakan iklim baik untuk simfoni pembangunan negara dan masyarakat” (Ir Soekarno, 1965).
Hampir tujuh dekade silam Bung Karno mengumandangkan seruan-seruan di atas. Kini, persoalan, tantangan, dan ancaman yang kita hadapi dalam membangun negeri berbeda. Situasi, kondisi, dan konteks juga lain. Tajuk Rencana Kompas (26/4/2024) menunjukkan bahwa saat ini deretan problem yang menghadang panjang dan menumpuk. Namun, sejak dulu, kita diingatkan bahwa ”modal dasar” kita tidak berubah: persatuan dan keutuhan. Insya Allah.
Kemenangan tim Garuda U-23 atas tim Korea Selatan di ajang kejuaraan sepak bola Piala Asia sungguh membanggakan sekalipun saya bukan penggemar sepak bola. Lalu terpikir membandingkan dunia olahraga dan politik.
Dalam olahraga, jika hendak menjadi juara, kita harus melalui latihan keras dan disiplin serta rajin mengikuti perlombaan atau kejuaraan, berkomitmen menaati aturan main.
Setiap cabang olahraga memiliki aturan main yang harus ditegakkan sungguh-sungguh. Misalnya seorang petenis yang marah dan membanting raket akan didenda, demikian pula seorang pemain sepak bola yang melakukan pelanggaran diberi teguran, diberi kartu kuning atau kartu merah, sesuai beratnya pelanggaran. Bahkan, seorang juara yang kemudian diketahui terbukti curang memakai obat steroid atau doping akan dihukum mengembalikan medalinya. Sportivitas benar-benar dijunjung tinggi.
Berbeda halnya dengan dunia politik. Seorang politikus yang ingin memenangi kontestasi politik dalam kenyataannya harus memiliki logistik yang kuat (dana puluhan miliar sampai triliun rupiah) dan lobi yang kuat. Sementara mengenai aturan main dan penegakannya tampak masih bisa diatur. Itulah kenyataan politik kita hari ini. Maka, bisa dipahami dalam dunia olahraga tidak ada sidang sengketa hasil pertandingan. Yang menang dan yang kalah meski ada ketidakpuasan akhirnya bisa menerima dengan fair. Beda dengan dunia politik
Saya sebagai rakyat biasa hanya bisa berharap kepada para politikus kita untuk becermin pada dunia olahraga yang menjunjung tinggi sportivitas, yang tidak lain menempatkan sikap jujur dan adil di atas kepentingan pribadi atau kelompok. Apalagi, sikap dan perilaku dalam dunia politik berdampak pada nasib suatu bangsa.
Dengan maksud ingin menyaksikan pertandingan semifinal Piala Asia U-23 antara kesebelasan Indonesia dan tim Uzbekistan pada Senin, 29 April 2024, saya menginstal aplikasi Vision+, salah satu media yang berada di bawah naungan MNC Group yang memiliki hak siar pertandingan. Saya membeli paket berlangganan satu bulan Rp 40.000 (sebelum pajak) lewat Gopay.
Sayang sekali, setelah membayar, saya sama sekali tidak bisa mengakses dan hanya mendapat notifikasi ”pending”. Hingga pukul 22.30 (saat saya menulis e-mail ini), saya tetap tidak bisa menyaksikan pertandingan tersebut. Saya memonitor ke akun Instagram Vision+ dan mendapati begitu banyak orang mengalami nasib yang sama.
Saya menghubungi layanan customer service Vision+, tetapi hanya ditanggapi oleh robot yang berulang kali hanya memberi menu pilihan pertanyaan/keluhan.