Gaungkan Kembali Pendidikan Etika di Sekolah dan Kampus
Pendidikan etika harus kembali diutamakan dalam kegiatan sekolah. Pengenalan nilai-nilai penting dilakukan sejak dini.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Selama beberapa tahun terakhir pendidikan etika di sekolah dan perguruan tinggi dinilai tak lagi diutamakan. Akibatnya, anak didik kehilangan kemampuan memahami tindakan yang benar dan perbuatan salah. Nilai kejujuran, keadilan, kepedulian, dan kebaikan menjadi barang mahal di lingkungan pendidikan.
”Saya melihat belakangan ini kita sangat menyepelekan nilai etika. Banyak praktik buruk tentang pelanggaran etika terjadi di lingkungan pendidikan,” kata pengamat pendidikan yang juga Guru Besar Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan Sri Minda Murni saat diwawancarai Kompas terkait Hari Pendidikan Nasional, Kamis (2/5/2024).
Sri mengatakan, dalam momentum Hari Pendidikan Nasional ini, pengarusutamaan pendidikan etika harus dilakukan. Kontribusi lembaga pendidikan sangat besar untuk menerapkan kembali nilai etika yang sudah pudar.
Di perguruan tinggi, misalnya, mahasiswa tidak lagi mempunyai rasa bersalah menjiplak tugas-tugas kuliah dengan copy-paste dari tugas mahasiswa lain. Banyak pula yang menggunakan kecerdasan buatan (AI) seperti ChatGPT untuk menyelesaikan tugas-tugas kampus.
Sementara itu, di lingkungan sekolah, sejumlah guru pernah kedapatan bekerja sama dengan murid melakukan kecurangan menghadapi Ujian Nasional. Guru-guru takut ditegur kepala dinas jika nilai ujian rendah, kepala dinas takut ditegur bupati, bupati takut ditegur gubernur, dan seterusnya.
Akhirnya kecurangan dilakukan secara luas. Jejak hasil penjiplakan dari teman atau aplikasi AI dengan mudah ditemukan hampir di semua tugas mahasiswa atau siswa.
Dalam perspektif etika, kata Sri, persoalan dalam kasus ini bukan lagi sekadar kesalahan karena berbuat curang saat ujian atau mengerjakan tugas. Lebih mendalam dari itu, anak murid dan guru seolah tidak punya landasan nilai di dalam dirinya untuk mengetahui dan menerima bahwa hal tersebut adalah sebuah kesalahan.
”Yang paling mengganggu ketika mahasiswa atau siswa sudah menganggap pelanggaran itu menjadi hal biasa. Peserta didik itu melakukan perbuatan salah, tetapi tidak mau dibahas. Malah membahas respons pendidik terhadap dia yang menurutnya tidak tepat,” kata Sri.
Oleh karena itu, Sri mengatakan, semua pihak harus kembali mengarusutamakan pendidikan etika di sekolah, perguruan tinggi, dan lingkungan keluarga. Harus ada proses pengenalan nilai-nilai etika sehingga ada landasan rasa keberpihakan pada nilai etika di dalam diri siswa atau mahasiswa. ”Mereka harus menyadari bahwa betapa buruknya apabila yang buruk dianggap baik,” ungkap Sri.
Setelah mengenal etika, peserta didik akan punya landasan untuk menerima nilai itu. Pada akhirnya mereka juga akan membentengi dan menjamin dirinya untuk menerapkan nilai itu.
Perkembangan teknologi, kata Sri, memang harus diikuti peserta didik dengan baik. Namun, pemanfaatan teknologi harus tetap dilakukan dengan landasan nilai etika. Penggunaan ChatGPT, misalnya, bisa dilakukan sebagai referensi. Bukan mentah-mentah mengerjakan tugas dengan teknologi AI itu.
Pengajar juga harus konsisten memberikan hukuman pada setiap pelanggaran etika. ”Berat kadang mempertahankan nilai itu, tetapi harus kita pertahankan. Sejak awal, misalnya, sudah dikatakan akan diberikan nilai E jika menjiplak mentah-mentah hasil ChatGPT. Maka harus konsisten memberikan nilai E,” tutur Sri.
Sri juga mengapresiasi Asesmen Nasional yang dilakukan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk melihat mutu satuan pendidikan dari hasil belajar murid paling mendasar, yakni literasi, numerasi, dan karakter. Survei karakter ini bisa menjadi landasan untuk menerapkan nilai etika.
”Saya kira Asesmen Nasional ini adalah progres dalam penerapan nilai etika itu. Meskipun tentu ada kritik juga tentang Asesmen Nasional, ini perlu dilanjutkan,” kata Sri.
Saya melihat belakangan ini kita sangat menyepelekan nilai etika. Banyak praktik buruk tentang pelanggaran etika terjadi di lingkungan pendidikan.
Yang tidak kalah penting, kata Sri, adalah peran orangtua menanamkan nilai etika sejak di rumah. Pendidikan dan penanaman nilai etika harus dimulai dari rumah karena nilai dan sikap itu paling mudah diterapkan dari rumah.
”Kalau nilai itu diperkenalkan mendadak di sekolah dan perguruan tinggi, maka akan sulit diterima. Sebaliknya, rumah akan menjadi tempat untuk kembali ketika dia melakukan kesalahan saat dewasa,” kata Sri.
Secara terpisah, Penjabat Gubernur Sumut Hassanudin mengatakan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Sumut meningkat dalam beberapa tahun ini. Salah satu indikator peningkatan IPM ini adalah pendidikan. ”Kita berharap pendidikan di Sumut bisa lebih baik ke depan,” katanya.
Hassanudin mengemukakan, IPM Sumut cukup baik dan terus meningkat setiap tahun. Pada tahun 2021 IPM Sumut pada angka 73,84, tahun 2022 meningkat menjadi 74,51, dan tahun 2023 kembali meningkat menjadi 75,13. Angka tersebut juga berada di atas IPM nasional, yaitu 74,39.
IPM merupakan ukuran kualitas hidup manusia di satu daerah. IPM mencakup empat indikator, yaitu harapan lama sekolah, rata-rata lama sekolah, umur harapan hidup, dan pengeluaran riil per kapita. ”Secara nasional, kami cukup baik. Ini dalam rangka menyongsong Indonesia emas 2045,” katanya.