Ekspresi kebencian karena perbedaan agama dan budaya kian meningkat. Perjumpaan lintas agama dan budaya dibutuhkan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia dapat berperan mengembangkan dialog lintas agama secara inklusif yang kini makin dibutuhkan dunia. Sebab, dunia kini tengah menghadapi tantangan berkembangnya ekspresi kebencian berbasis perbedaan agama serta keyakinan.
Utusan Khusus untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Kementerian Luar Negeri Kerajaan Belanda, Bea ten Tusscher, pada acara Dialog Lintas Agama ke-9 yang diadakan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Den Haag, Belanda, Jumat (17/5/2024), memuji Indonesia yang mempromosikan dialog lintas agama di semua tingkatan, terutama Asia, termasuk juga di Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).
”Saya melihat peran besar Indonesia dalam mempromosikan dialog lintas agama di seluruh dunia karena Indonesia memiliki banyak pelajaran untuk dibagikan kepada negara lain,” kata Bea.
Bea merasa terkesan saat hadir dalam Konferensi Internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang diadakan Institut Leimena bersama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada November 2023 yang dihadiri perwakilan negara-negara asing, pejabat pemerintah, termasuk menteri.
”Indonesia patut bangga dengan apa yang telah diraihnya dan mau berbagi. Kami sebagai orang Belanda masih bisa belajar dari Indonesia. Hal ini semakin dibutuhkan di dunia yang penuh dengan intoleransi, provokasi, dan proliferasi,” kata Bea.
Dialog Lintas Agama ke-9 di Belanda dihadiri sejumlah pejabat pemerintahan, pimpinan lembaga, akademisi, tokoh media, serta pemuda dari Belanda dan Indonesia. Dialog bertemakan ”Literasi Iman untuk Mempromosikan Saling Percaya, Toleransi, dan Keberagaman: Inklusi Pemuda dan Peran Penting Media” tersebut dibuka Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda, Mayerfas; dan Kepala Divisi Selatan dan Asia Tenggara Kementerian Luar Negeri Kerajaan Belanda Annemarie van der Heijden.
Dialog Lintas Agama tersebut melibatkan 10 pembicara, termasuk Direktur Eksekutif Institut Leimena Matius Ho sebagai satu-satunya narasumber dari Indonesia yang hadir langsung di KBRI Den Haag.
Mayerfas mengatakan, keberagaman agama dan budaya di Indonesia sudah teruji sejak awal keberadaannya. Indonesia telah menerapkan pengendalian diri atau toleransi, bekerja sama, dan hidup berdampingan secara damai.
”Sering kali akar penyebab kesalahpahaman dan ketidaktahuan mengesampingkan prinsip inti kesetaraan, solidaritas, dan yang terpenting, kemanusiaan,” ujar Mayerfas.
Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri RI Siti Nugraha Mauludiah mengatakan, tantangan dinamika geopolitik dengan kondisi peningkatan intoleransi mempersempit ruang toleransi. Di belahan dunia tertentu terjadi peningkatan gerakan nasionalis dan sikap antimigrasi. Sebaliknya, penerimaan terhadap perbedaan semakin menurun.
”Kita memang perlu membangun literasi keagamaan lintas budaya dan kolaborasi multiagama berdasarkan inklusivitas. Komunikasi dan kerja sama dengan orang-orang dari agama dan budaya berbeda menjadi lebih penting dari sebelumnya,” ujarnya.
Keberagaman agama dan budaya di Indonesia sudah teruji sejak awal keberadaannya.
Menurut Siti, dialog lintas agama antara Indonesia dan Belanda yang dimulai sejak tahun 2006 telah berkembang dari platform yang digerakkan pemerintah menjadi platform yang lebih berbasis komunitas. Forum ini juga semakin memberikan partisipasi lebih luas dan peran utama aktor non-negara dalam dialog.
Siti menambahkan, tujuan utama dialog lintas agama ketika pertama kali diperkenalkan oleh Kemenlu RI tahun 2004 adalah untuk meningkatkan toleransi beragama dan saling pengertian antarumat beragama tentang pentingnya hidup rukun dan damai. Sebab, tanggung jawab ini milik semua orang.
Siti menegaskan, pemain utama Dialog Lintas Agama adalah aktor nonnegara, seperti pemimpin agama, akademisi, pemuda, lembaga pemikir, media, dan komunitas akar rumput. Peran mereka dalam menjembatani pemahaman, toleransi, dan persatuan di antara orang-orang yang berbeda keyakinan sangatlah penting.
Literasi keagamaan
Matius Ho menyebut tentang pentingnya peran masyarakat dalam upaya membangun toleransi. Dia mengutip pernyataan Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa Volker Turk dalam sesi ke-55 Dewan HAM PBB pada 8 Maret 2024 yang sangat merekomendasikan inisiatif kemasyarakatan yang efektif untuk membangun masyarakat, di mana ekspresi kebencian tidak bisa lagi diterima secara sosial, sehingga membutuhkan literasi iman inklusif.
Institut Leimena mencontohkan literasi agama yang inklusif lewat program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) di Indonesia. Program ini adalah contoh inisiatif masyarakat untuk mempromosikan literasi iman yang inklusif.
Institut Leimena menggandeng berbagai lembaga dalam pelaksanaan program LKLB yang saat ini sudah mencapai sedikitnya 25 mitra lembaga pendidikan, keagamaan, bahkan pemerintah. Program LKLB menjadi contoh kolaborasi multiagama yang melibatkan 20 lembaga Islam, 7 institusi Kristen, dan kemitraan baru. Mereka kini sedang dalam proses berkolaborasi dengan umat Buddha, lembaga Hindu, dan Konghucu.
”Program literasi keagamaan lintas budaya ini kami mulai akhir 2021, awalnya kepada guru madrasah. Namun, saat ini sudah meluas kepada guru agama lain dengan jumlah alumni pelatihannya mencapai hampir 8.000 guru dari 37 provinsi di Indonesia,” kata Matius.
Menurut Matius, LKLB dapat menjadi studi kasus dari Indonesia tentang hidup berdampingan antaragama secara damai.